Kamis, 12 Juli 2007

#12 Menghindari Kemiripan

Kebiasaan saya menulis cerita anak (cerpen) adalah di satu waktu saya menulis beberapa cerita sekaligus. Pada awalnya saya melihat cerita yang saya tulis itu mirip dan sering kali terjadi pengulangan. Entah itu gaya bahasa, setting dan sebagainya. Akhirnya saya menemukan pola sendiri.

Katakan, saya memiliki target di akhir pekan menulis 5 cernak. Maka saya akan atur mengetiknya: 1. Saya tulis cerita realitas dulu, setting sekolah, tokoh lelaki. 2. Saya tulis dongeng kerajaan, tema misteri. 3. Saya tulis cerita realitas, setting kursus balet, tokoh utama perempuan. 4. Saya tulis fabel, komedi. 5. Saya tulis lagi cerita ralitas.

Dengan membuat selang-sleing jenis tulisan, akhirnya saya bisa terhindar dari kemiripan atau pengulangan kata, setting, atau tokoh.

Selamat mencoba!

#11 Ikut Lomba

Tertarik mengikuti lomba penulisan cerita anak? Karena saya beberapa kali menang, saya ingin berbagi beberapa tips:

1. Simak dengan jelas pengumuman lengkapnya. Ikuti aturannya. Penuhi temanya. Perhatikan tenggat waktunya. Jangan ketinggalan syaratnya.

2. Baca hasil pemenang lomba tersebut sebelumnya untuk mengetahui selera juri. Jika tidak ada, kita harus mencari tema cerita yang kuat.

3. Sebisa mungkin kirim lebih dari satu karya. Tapi tetap kita punya satu karya 'jagoan'.

4. Minta orang-orang terdekat untuk ikut membaca.

5. Tempelkan pengumuman lomba di dekat komputer. Lingkari hadiah utamanya.

6. Ingat, jangan salah kirim. Pilih ekspedisi terpercaya. Kalau perlu diantar langsung.

7. Berdoa dan ikhlaskan apapun hasilnya.


semoga Anda beruntung!

Rabu, 11 Juli 2007

#10 Ambil Spesialis

Ada banyak genre di penulisan cerita anak. Mungkin sama halnya dengan spesialisasi di kedokteran. Tapi saya sarankan sbeaiknya ambil dulu yang umum. Jadilag penulis cerita anak yang bisa menulis semua genre dulu. Setelah kita menjalaninya, lalu merasakan keasyikannya, maka kita bisa mengambil genre etertentu untuk kita tekuni.

Banyak penulis pemula yang langsung mengambil genre tertentu. Okay, itu tidak masalah. Tapi biasanya mereka akan kesulitan ketika harus bereksplorasi dengan genrenya. Karenanya ambil dulu genre umum.

Cobalah menulis dongeng, cerpen realita, kisah fantasi, humor, petualangan, cerita untuk balita, cerita untuk anak SD. Semakin banyak jenis tulisan yang kita kuasai, kita akan semakin mudah mengenali kemampuan dan kekuatan kita.

Jika sudah waktunya, segera ambil spesialisasi. Tekuni!

Saya sendiri sejak awal menulis sebenarnya ingin menjadi penulis cerita realita anak-anak dengan balutan komedi dan sedikit petualangan (semacam seri Pippi atau Mallory Towers). Saya bisa menulis dongeng, fantasi atau lainnya, tapi saya merasa kurang kuat. Dengan dipilihnya spesialisasi
itu, saya pun lebih fokus memperkaya referensi saya. Bukan berarti saya menutup mata dengan referensi genre lainnya. Tapi saya akan membuat prioritas.


Spesialisasi akan membuat kita makin matang. Mungkin juga ke arah profesional.
Tapi saya sarankan ke pada penulis pemula untuk mencoba menulis secara general dulu.
Memilih spesialisasi, selain mengukur kemampuan dan minta kita, juga melihat celah kemungkinan untuk memasukinya. Mungkinkah untuk genre tersebut di Indonesia masih langaka atau sudah penuh. Sebut saja untuk genre penulis cerita pictorial book, kita tahu nama-nama seperti Ali Muakhir, Renny Yaniar, Nur Ayati Giga dan Arleen Amidjaya yang sangat produktif. Mungkinkah kita menyaingi mereka?

Bagimana dengan cerita misteri? masih adakah peluang? Bagaimana dengan cerita petualangan? cerita komedi?

Banyak memang yang kita bisa pikirkan. dan tahap itu tentu saja harus dimulai dengan banyak menulis. Ayo ... minggu ini sudah berapa cerita yang dikirim ke media?

Kamis, 05 Juli 2007

#9 Bacalah

Bacalah!

Saya selalu meminta kepada calon penulis untuk membaca buku-buku cerita anak sebanyak mungkin. Mengapa? Dengan banyak membaca, kita bisa banyak mengikat makna (pinjam istilah Mas Hernowo). Tentunya kita tak lagi sekadar membaca ketika ingin jadi penulis. Bacaan yang kita telan harus kita cari kelebihannya. Misalnya penulis Enid Blyton, apakah kelebihannya? Jacqueline Wilson bagian mana yang menarik? Astrid Lindgren apa yg menonjol?

Biarkan bacaan itu merasuk ke tubuh kita. Lalu kita rasakan. Apakah kita bisa menulis lebih baik dari kekurangannya? Ataukah kita bisa mengikuti kelebihannya?

Cobalah buat daftar buku yang sudah kita baca, lalu kelompokkan menjadi beberapa. Ada kelompok yang menonjol dari unsur ceritanya, ada yang dari karakter, ada yang dari setting, ada yang kuat di dialog, kuat dari referensi sains dan sebaginya. Buat pula semacam catatan kecil dari buku yang kita baca.

Banyak penulis pemula merasa canggung ketika tulisannya dirasa mirip penulis panutannya. Menurut saya itu bukan masalah. Sama halnya seperti penyanyi pemula yang gaya menyanyinya masih mirip penyanyi senior. Namun dengan jam manggung yang tinggi, mereka akan menemukan jati diri. Begitu pula dengan penulis. Dengan semakin banyak membaca dan menulis, mereka akan menemukan gaya menulisnya sendiri.

Toh, meniru yang bagus dan baik bukan suatu kesalahan. Sepanjang tidak ada plagiasi. Jadi sebaiknya kita penuhi referensi bacaan kita dengan jenis-jenis buku yang baik pula.

--------------------------------------
pertanyaan terkait tema ini bisa ke:
benny.rhamdani@gmail.com

#8 Buat Daftar Boleh dan Tidak Boleh

Cobalah teman-teman mulai membuat daftar sendiri hal-hal yang boleh kita tuliskan sebagai cerita anak, juga tidak boleh. Bayangkan saja cerita anak itu untuk kita baca sendiri atau untuk anak-anak yang kita sayangi. Untuk beberapa contoh ini ada paparannya.


Saya hanya boleh menulis cerita yang:
  1. Mengajarkan prinsip hidup yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran moral dan kebaikan;
  2. Menggunakan bahasa anak yang sederhana dan mudah dimengerti;
  3. Selain mengajarkan nilai-nilai hidup juga mendorong anak untuk mengaplikasikan dengan benar dalam kehidupan nyata;
  4. Memperkuat nilai-nilai moralitas dan etika yang baik;
  5. Membantu anak mengembangkan wawasan yang lebih luas;
  6. Memberi nilai hiburan yang sehat;
  7. Mengembangkan daya imajinasi anak tanpa menyangkal realita yang ada;
  8. Meningkatkan rasa kasih kepada kemanusiaan tanpa membedakan ras, suku, warna kulit dan budaya;
  9. Mendorong anak untuk mencintai dan menghargai hidup.
Saya tidak akan menulis cerita yang:
  1. Menentang nilai-nilai moralitas dan kebaikan;
  2. Menekankan pada kekerasan, kejahatan, kekejaman semata;
  3. Mengumbar nafsu dan dosa;
  4. Menantang dan melawan otoritas orang tua atau guru dengan cara yang tidak baik;
  5. Menyita banyak waktu anak;
  6. Menghina ras, suku, warna kulit, budaya yang berbeda dengan anak;
  7. Mengajarkan nilai budaya yang tidak sesuai dengan norma masyarakat setempat;
  8. Mendorong anak untuk berpikir negatif tentang hidup;
  9. Tidak menghargai lingkungan dan alam;
Dengan membuat daftar ini, kita secara otomatis akan membuang ide-ide yang datang namun bertentangan dengan nurani kita.

Silakan tamabhkan daftar di atas, atau buang yang tidak sesuai dengan Anda.

#7 Pesan dan Misi

Mestikah kita menyisipkan pesan moral di dalam cerita anak yang kita buat? Ya! Menurut saya inilah kewajiban moral seorang penulis anak. Mengingat aktivitas membaca memungkinkan terjadinya perubahan kognitif, afektif dan behavioral pada anak, maka kita bisa menyisipkan pesan moral kepada pembaca kita.

Tetapkan misi kita itu secara mendalam di hati kita. Karena kita tidak ingin sekadar menyajikan cerita kosong belaka. Tentunya kita tidak bisa menuliskan pesan itu secara eksplisit. Dengan banyak membaca dan berlatih, kita akan bapat menyampaikan pesan moral secara halus di setiap cerita kita.

Ada beberapa hal yang bisa kita sisipkan dalam cerita yang kita buat, sehingga memberi manfaat antara lain:

1. Menghargai nilai etika dan moral yang luhur;
2. Mengembangkan daya imajinasi yang kuat;
3. Membuka wawasan dunia yang luas dan kaya;
4. Berbagi pengalaman hidup dengan tokoh cerita;
5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan praktis;
6. Menghargai sesama manusia;
7. Mengekspresikan emosi dan perasaan yang dimiliki;
8. Menajamkan daya ingat;
9. Mengasah intelektual dan kreatifitas;
10. Menimba pengetahuan;
11. Mempelajari estetika tulisan dan bahasa;
12. Menambah keterampilan berbahasa daerah, nasional atau asing.
Dengan demikian, melalui cerita kita dapat mengembangkan bukan hanya IQ anak (kecerdasan intelektual) tetapi juga EQ anak (kecerdasan emosi).

#6 Kenali Pembaca

Agar cerita kita tepat sasaran, sebaiknya kita kenali dulu calon pembaca cerita kita.
Anggap saja kita ingin menulis cerita anak di majalah BOBO, maka kita harus faham betul karakter pembaca majalah BOBO. Range umur mereka berapa? Kota tempat mereka tinggal mayoritas di mana? Gaya hidup mereka bagaimana?

Pembaca majalah BOBO berbeda dengan pembaca majalah MOMBI. Segmen usia pembaca MOMBI jelas lebih muda. Begitu pula ketika kita hendak menulis buku cerita anak. Kita harus pastikan dulu, untuk siapa kita menulis.

Dengan mengenali calon pembaca kita, maka kita akan mudah menentukan banyak hal dalam penulisan cerita. Mungkinkan pembaca yang kitas sasar umumnya menyenangi genre fantasi, atau detektif cilik atau petualangan atau misteri? Kita juga bisa membangun bahasa yang bagaimana; yang sederhana, lebih rumit atau mencampuri dengan istilah-istilah asing.

Kita tidak bisa menyamaratakan semua pembaca. Bicaralah dengan bahasa kaum mereka. Untuk anak usia balita, kita bisa menggunakan bahasa yang sederhana. Maksimal misalnya 8 kata dalam satu kalimat. Hindari kalimat bertingkat. Hindari pula frasa yang sulit untuk dimengerti.

Yaumil Achir (1998) mengklasifikasikan perkembangan minat baca anak dalam 3 kelompok.

Kelompok I, usia 1-3 tahun, anak memiliki kebiasaan merobek kertas. Oleh sebab itu, orangtua hendaknya memanfaatkannya dengan menyediakan buku atau gambar dengan warna yang menarik, namun berbahan tebal atau elastis. Yup, kita bisa membuat cerita yang sekiranya nanti akan lebih banyak tampilan visualnya dan diterapkan dibahan boardbook.

Kelompok II, usia 2-3 tahun, anak sudah bisa merangkai beberapa kata atau kalimat yang merupakan gagasan. Pada usia ini, orangtua hendaknya mampu memberikan bacaan yang dapat memancing kreativitas, dengan membacakan atau menceritakan isinya. Umumnya bacaan yang digemari anak adalah cerita yang menyenangkan. Nah, penulis sudah bisa menyisipkan cerita sedarhana yang menarik.

Kelompok III, usia 5-7 tahun. anak-anak sudah mengonsumsi kata-kata, gagasan-gagasan, dan konsep-konsep yang merupakan representasi dari hal-hal yang telah dialami dan disimpan secara mental, baik melalui pengalaman atau yang diterima secara tidak langsung. Pada usia ini mereka umumnya senang membaca buku atau cerita yang isinya menarik.

Untuk cerita anak-anak SD kita bisa lebih mengeksplorasi kosa kata. Menjelaskan kata-kata baru dalam paragraf secara cermat. Kita bisa bermain dengan cerita, memasukkan gaya bahasa.

Dengan mengenali pembaca, kita juga bisa mengetahui kebutuhan pembaca kita. Hal apa yang sedang digandrungi mereka, yang menjadi cita-cita mereka. Kita boleh saja menempatkan masa kanak-kanak kita dalam konteks kekinian. tapi kita sebaiknya memeriksa juga. Siapa tahu hal tersebut sudah dianggap basi dan tidak menarik buat anak-anak sekarang. Lalu apa yang mesti kita tambahkan atau kurangi.

Sekali lagi, kenali (calon) pembaca kita.

Rabu, 04 Juli 2007

#5 Berapa Panjang?

Berapa panjang cerita anak yang harus kita buat?

Tergantung untuk siapa kita menulis. Jika kita ingin menulis untuk media cetak, maka kita harus amati langsung. Umumnya beberapa majalah mengehndaki panjang sekitar 3 halaman.
Jika kita hendak menulis untuk novel, tentu saja beraneka ragama. setiap penerbit punya kebijakan masing-masing. Kita tidak dilarang untuk bertanya. Malah sebaiknya kita bertanya, jangan-jangan mereka tidak tertarik menerbitkan buku cerita anak. Bila malu bertanya, kita bisa mengunjungi wesite mereka. Biasanya mereka menyediakan fitur khusus untuk pengiriman naskah. Ada juga beberapa penerbit yang menerima naskah cerita anak untuk pictorial book, biasanya hanya sepanjuang satu halaman.

Sebagai penulis, sebaiknya kita bisa mengatur panjang atau pendek cerita yang akan kita tulis.
Sewaktu menulis untuk majalah Bobo yang meminta maksimal tiga halaman, kita harus bisa memetakan di mana konflik, sampai mana cerita harus memasuki tahap penutupan sehingga tidak lebih dari batas maksimal.

Begitu pula saat menulis untuk novel anak. Bukan berarti buku Harry Potter yang lebih tiga ratus halaman itu harus kita ikuti. Siapa tahu untuk naskah lokal, penerbit hanya minta 50 halaman.

Perlunya kita mengetahui berapa panjang halaman yang kita tulis adalah:
1. Kita bisa memetakan cerita dengan efektif.
2. Mengurangi resiko naskah ditolak karena kepanjangan atau kependekan.

meski demikian, kita tidak perlu stres, menghitung terus jumlah halaman. SEbaiknya dipetakan, tulis, baru edit. Mungkin kalau kepanjangan kita bisa menghapus beberapa kalimat tidak efektif. Kalau kependekan kita bisa menambahkan satu-dua konflik kecil, atau sub cerita yang menambah dinamika cerita yang kita buat. Misalnya menyisipkan dialog humur atau kejadian lucu. Hindari membuat kalimat bertele-tele demi mengejar target halaman, tapi berefek jelek terhadap keutuhan cerita yang kita susun.

----

silakan pertanyaan berkait tema ini dilayangkan ke: benny.rhamdani@gmail.com
tengok juga: http://bennyrhamdani.multiply.com/

Minggu, 01 Juli 2007

#4 Membuka Cerita

Apakah Anda masih menulis pembukaan cerita dengan kalimat seperti ini:

Pada suatu hari yang cerah, hiduplah seorang raja di sebuah kerajaan yang makmur ....

atau

Angin bertiup sepoi-sepoi melintasi dedaunan hingga sebuah daun jatuh. Daun itu kemudian tertiup angin. Pagi ini indah sekali ....

Wah, saya acungkan jempol jika ada penulis yang masih bertahan dengan gaya pembukaan cerita seperti di atas. Saya tidak bilang jelek, tapi menurut saya tidak efektif menggugah pembaca. Salah satu syarat mutlak kalimat pembuka adalah; harus memancing pembaca menamatkan cerita yang sudah mulai dibacanya.

Dalam kelas menulis yang diajarkan penulis Kanada Deborah Ellis, Beliau menyampaikan satu contoh: Ayah pergi keluar rumah sambil membawa sebilah kapak. Apa yang akan dilakukan Ayah?

Ya, siapapun yang membaca kalimat itu tentunya akan penasaran mengikuti ceritanya. Tentu saja kita bisa membuat variasi lainnya. Kalimat pembuka bisa dimulai dengan situasi seperti yang dicontohkan Deborah. Tapi kita juga bisa memulainya dengan narasi atau monolog, misalnya:
Aku membenci Ibu. Ibuku tidak seperti ibunya Lona yang bekerja di bank, ibunya Sania yang dosen, ibunya Tia yang reporter televisi. Juga tidak seperti ibunya Vivi yang bintang sinetron. Ibuku hanya bekerja di rumah. .....

Kita juga bisa memulai dengan setting yang menarik, seperti:
Pernahkah kalian membayangkan ada mobil melewati rumah kalian? Tapi Retno mengalaminya. Dia tinggal di bawah jalan layang ....

Nah, sekarang cobalah membuka setiap cerita kita dengan hal-hal yang menarik. Bisa dari beberapa elemen, seperti tokoh, setting, situasi, dialog, seperti ini:

"Jadi malam ini akan ada hantu di kamarmu?"
"Ya, hantu keren. Kamu mau lihat?"
Wita langsung mendelik mendengar jawaban Ovie.